Selasa, 25 Oktober 2005

SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA


Sejarah Singkat dan Perkembangan Logika

Dasar dari logika adalah penalaran, sejak manusia ada di dunia ini, manusia  telah  menggunakan akal pikirannya untuk menarik sebuah kesimpulan  ataupun penalaran Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur

Masa Yunani Kuno, logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.
Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.

Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:
    * Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
    * Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
    * Air jugalah uap
    * Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.

Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.

Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.
Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu:
   1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
   2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan
   3. Analytica Posteriora tentang pembuktian.
   4. Analytica Priora tentang Silogisme.
   5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.
   6. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.
Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika.

Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.
Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles.

Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya.

Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae. Abad pertengahan dan logika modern 
Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan.

Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika. Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:
  • Petrus Hispanus (1210 - 1278)
  • Roger Bacon (1214-1292)
  • Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian.
  • William Ocham (1295 - 1349)

Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding

Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum.

J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic
Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:
  • Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna          dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian.
  • George Boole (1815-1864)  
  • John Venn (1834-1923)
  • Gottlob Frege (1848 - 1925)
Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs)

Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970).

Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain
Terdapat 5 aliran besar dalam logika, yaitu :

1. Aliran Logika Tradisional
Logika ditafsirkan sebagai suatu kumpulan aturan praktis yang menjadi petunjuk pemikiran.

2. Aliran Logika Metafisis
Susunan pikiran itu dianggap kenyataan, sehingga logika dianggap seperti metafisika. Tugas pokok logika adalah menafsirkan pikiran sebagai suatu tahap dari struktur kenyataan. Sebab itu untuk mengetahui kenyataan, orang harus belajar logika lebih dahulu.

3. Aliran Logika Epistemologis
Dipelopori oleh Francis Herbert Bradley (1846 - 1924) dan Bernard Bosanquet (1848 - 1923). Untuk dapat mencapai pengetahuan yang memadai, pikiran logis dan perasaan harus digabung. Demikian juga untuk mencapai kebenaran, logika harus dihubungkan dengan seluruh pengetahuan lainnya.

4. Aliran Logika Instrumentalis (Aliran Logika Pragmatis)
Dipelopori oleh John Dewey (1859 - 1952). Logika dianggap sebagai alat (instrumen) untuk memecahkan masalah.

5. Aliran Logika Simbolis
Dipelopori oleh Leibniz, Boole dan De Morgan. Aliran ini sangat menekankan penggunaan bahasa simbol untuk mempelajari secara terinci, bagaimana akal harus bekerja. Metode-metode dalam mengembangkan matematika banyak digunakan oleh aliran ini, sehingga aliran ini berkembang sangat teknis dan ilmiah serta bercorak matematika, yang kemudian disebut Logika Matematika (Mathematical Logic). G.W. Leibniz (1646 - 1716) dianggap sebagai matematikawan pertama yang mempelajari Logika Simbolik.
Pada abad kesembilan belas, George Boole (1815 - 1864) berhasil mengembangkan Logika Simbolik. Bukunya yang berjudul Low of Though mengembangkan logika sebagai sistem matematika yang abstrak. Logika Simbolik ini merupakan logika formal yang semata-mata menelaah bentuk dan bukan isi dari apa yang dibicarakan. Ada dua pendapat tentang Logika Simbolik yang merangkum keseluruhan maknanya, yaitu  
  1. Logika simbolik adalah ilmu tentang penyimpulan yang sah (absah), khususnya yang dikembangkan dengan penggunaan metode-metode matematika dan dengan bantuan simbol-simbol khusus sehingga memungkinkan seseorang menghindarkan makna ganda dari bahasa sehari-hari (Frederick B. Fitch dalam bukunya “Symbolic Logic”).
  2. Pemakaian simbol-simbol matematika untuk mewakili bahasa. Simbol-simbol itu diolah sesuai dengan aturan-aturan matematika untuk menetapkan apakah suatu pernyataan bernilai benar atau salah.
Studi tentang logika berkembang terus dan sekarang logika menjadi ilmu pengetahuan yang luas dan yang cenderung mempunyai sifat teknis dan ilmiah. Aljabar Boole, salah satu topik yang merupakan perluasan logika (dan teori himpunan), sekarang ini digunakan secara luas dalam mendesain komputer. Penggunaan simbol-simbol Boole dapat mengurangi banyak kesalahan dalam penalaran.
Ketidakjelasan berbahasa dapat dihindari dengan menggunakan simbol-simbol, karena setelah problem diterjemahkan ke dalam notasi simbolik, penyelesaiannya menjadi bersifat mekanis. Tokoh-tokoh terkenal lainnya yang menjadi pendukung perkembangan logika simbolik adalah De Morgan, Leonard Euler (1707 - 1783), John Venn (1834 - 1923), Alfred North Whitehead dan Bertrand Russell (1872 - 1970).

Sabtu, 15 Oktober 2005

KETERKAITAN ILMU LOGIKA DENGAN ILMU KESEHATAN MASYRAKAT


Logika adalah cara berpikir atau menjelaskan – a way of thinking or explaining. Sains apapun, termasuk epidemiologi, menggunakan logika untuk menarik kesimpulan. Sesungguhnya penarikan kesimpulan merupakan pekerjaan semua orang. Hanya saja sebagian besar kesimpulan tersebut dibuat tidak dengan sistematis, sehingga di kemudian hari diketahui salah. Dalam hal ini logika bertujuan untuk menghindari jenis pengambilan kesimpulan yang tidak bisa diandalkan itu. Meskipun kesimpulan logis tidak mampu memberikan kepastian seratus persen benar, namun tingkat kemungkinan (probabilitas) sudah memadai bagi manusia untuk menindaklanjutinya. Aturan tentang kesimpulan merupakan bagian paling sulit dalam logika, namun paling berguna.

.Ilmu logika digunakan dalam riset epidemiologi, kedokteran, dan kesehatan, untuk merumuskan hipotesis, membangun teori, maupun mengembangkan pengetahuan umumnya. Sains baik epidemiologi, kedokteran, dan kesehatan, adalah ilmu terapan. Sains tidak dimaksudkan sebagai “menara gading” yang tidak berguna untuk perbaikan status kesehatan masyarakat. Jadi sains tidak hanya membutuhkan cara berpikir logis dan runtut, tetapi juga seni dan kreativitas dalam penarikan kesimpulan....



Jumat, 17 Juni 2005

kaitan ilmu filsafat dan ilmu logika serta ilmu kesehatan masyrakat


KETERKAITAN ILMU FILSAFAT DENGAN ILMU LOGIKA
  • Filsafat ilmu berfungsi untuk memberi petunjuk tentang cara pandang hakekat sesuatu yang menjadi obyek penelitian.
  • Filsafat ilmu membahas 3 komponen dasar berkaitan dengan penelitian yaitu: 1).ontologi, 2).epistemologi dan 3).aksiologi.
  • -ontologi yaitu pembahasan tentang bagaimana cara memandang apa hakekat sesuatu itu, apakah dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang lain atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami sebagai suatu kebulatan (holistik).
  • -epistemologi yaitu pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan. Bagaimana tatacara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh ontologi yang dipilihnya. Bila ontologi memahami sesuatu adalah tunggal, maka cara memperoleh kebenaranya dengan menggunakan jenis “penelitian kuantitatif”. Akan tetapi bila ontologinya memahami sesuatu secara jamak, maka digunakan jenis “penelitian kualitatif”.
  • -aksiologi adalah pembahasan tentang bentuk ilmu yang dihasilkan dari penelitian. Inipun dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan. Ontologi yang memahami sesuatu itu tunggal, penelitianya jenis kuantitatif, maka ilmu yng dibentuknya  disebut “ nomotetik” dan bebas nilai (value free), sedangkan ontologi yang memahami sesuatu itu jamak dan penelitiannya jenis kualitatif, maka ilmu yang dihasilkan disebut “idiografik” dan bermuatan nilai (value bound).

·           Pembahasan ontologi, epistemologi dan aksiologi dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan,  kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu emperisme  dan rasionalisme/realisme.


·           Filsafat emperisme menghendaki kebenaran terbatas pada emperik sensual atau indrawi, memunculkan logika positivistik, sedangkan filsafat resionalisme/realisme menghendaki kebenaran emperik logik, etik dan transendental/metafisik, memunculkan logika phenomenologik.

·           Logika positivistik menghendaki perencanaan riset yang rigor / ketat, rinci, terukur, terkontrol dan penetapan data yang konkrit yang teramati, memunculkan jenis penelitian kuantitatif. Logika phenomenologik menghendaki perencanaan riset yang longgar dan luwes, sebab data yang dicari tidak pasti, sangat tergantung pada fenomena yang dijadikan sasaran risetnya, memunculkan jenis penelitian kualitatif.









KETERKAITAN ILMU LOGIKA DENGAN ILMU KESEHATAN MASYRAKAT
.Ilmu logika digunakan dalam riset epidemiologi, kedokteran, dan kesehatan, untuk merumuskan hipotesis, membangun teori, maupun mengembangkan pengetahuan umumnya. Sains baik epidemiologi, kedokteran, dan kesehatan, adalah ilmu terapan. Sains tidak dimaksudkan sebagai “menara gading” yang tidak berguna untuk perbaikan status kesehatan masyarakat. Jadi sains tidak hanya membutuhkan cara berpikir logis dan runtut, tetapi juga seni dan kreativitas dalam penarikan kesimpulan....